Kamis, 26 April 2012

Menentukan Paradigma Penelitian Itu Mudah. Tidak Percaya?

Memilih paradigma penelitian itu mudah, semudah kita melihat dunia. Tidak percaya?


Sumber Gambar: anugrah.net
Hari ini (Kamis kemarin), sebenarnya sudah dikejar-kejar penyelesaian bahan ajar untuk kelas psikologi bunda PAUD. Tapi kebuntuan melanda tiada tara. Keharusan menulis dengan ketentuan tertentu sedikit memberikan arah ke jalan buntu. Buatku tak harus dipaksa dulu. Santai...

Untunglah masih punya alternatif aktivitas lain, diskusi dengan mahasiswa tentang penelitian kualitatif. Yang ini pasti lebih seru.

Sebenarnya mahasiswa ini adalah bimbingan skripsi temanku. Hanya saja, temanku tersebut lebih menguasai penelitian kuantitatif daripada kualitatif. Maka dioperlah mahasiswa ini kepadaku, khusus untuk mendiskusikan bab 3 laporan penelitiannya, tentang metodologi (dan metode) penelitian.

Datanglah mahasiswa yang telah bikin janji tersebut. Di minggu sebelumnya, ia sempat ketemu denganku. Aku memintanya lagi untuk belajar tentang metodologi, sebelum membahas metode.

Perlu diketahui, ada perbedaan antara metodologi dan metode. Kalau kita lihat istilahnya, sudah pasti beda lah. Bahkan dari istilah itu sudah bisa ditangkap apa perbedaan artinya. Hanya saja, masih banyak penulis buku penelitian kualitatif masih menggunakan kedua kata itu secara bercampur.

Metodologi jelas terdiri dari dua kata, method dan logos, yang artinya ilmu tentang metode. Berbeda dengan metode yang hanya terdiri dari satu kata, method, yang artinye metode atau cara.

Methodology didefinisian sebagai "a set of system of method, principles and rules of regulating a given discipline" (dictionary.com). Sedangkan method artinya: "a procedure, technique, or way of doing somethings, especially in accordance with a definite plan" (dictionary.com). (Bayu, 2011).

Metodologi lebih bersifat general. Metodologi adalah sistem panduan untuk memecahkan persoalan, dengan komponen spesifiknya adalah bentuk, tugas, metode, teknik dan alat. Dengan demikian, metode berada di dalam metodologi, atau dengan kata lain, metode lebih berkenaan dengan teknis saja dari keseluruhan yang dibahas dalam metodologi. Dalam konteks penelitian, yang termasuk metode adalah teknik penggalian data, teknik pengolahan data, penentuan populasi serta sampel dan sejenisnya.


1. Paradigma sebagai kaca mata pandang

Diskusi berlanjut. Di minggu sebelumnya, mahasiswa ini dihadapkan pada persoalan kesesuaian antara paradigma yang digunakan dengan objek penelitian yang akan dikaji. Mahasiswa ini, sebut saja Dila (susah kalau tanpa nama hehe), menggunakan paradigma fenomenologi intepretif, sedangkan objek kajiannya adalah strategi yang diambil oleh top manajer untuk mengatasi resistensi karyawan terhadap kebijakan.

Sebenarnya, bicara tentang paradigma, tidak tepat jika kita mengatakan 'menggunakan'. Karena paradigma sebenarnya melekat pada diri orang, pada diri peneliti. Paradigma tidak seperti bongkar pasang alat, tidak seperti gunting atau pisau untuk memeotong. Artinya, gunting ini bisa diletakkan atau tidak terpakai ketika tidak ada yang dipotong. Paradigma itu seperti kaca mata yang sepaket dengan mata orang yang bersangkutan. Jika kaca mata orang ditukar, kalau minus, plus atau silindernya beda, maka pasti tidak sesuai dengan orang tersebut. Tapi jika sama, maka mereka bisa saling menyesuaikan.

Ambil contoh saja Freud. Pernah dengar nama ini? Jika belum pernah dengar, pasti sudah pernah baca. Lho kok tahu? Ya ini kan sudah aku tulis, jadi Kamu pasti pernah baca hahaha.

Freud adalah salah satu tokoh fenomenal di psikologi. Beliau ini termasuk salah satu tokoh genial besar selain Darwin dan Einstein. Freud yang melahirkan teori psikoanalisa.

Nah, psikoanalisa sudah melekat, menjadi bagian dari diri Freud. Ketika ia meneliti atau melakukan terapi, pasti sudut pandang psikoanalisa yang digunakan (kata 'digunakan' memang sulit tak digunakan hehe). Kalau ada kejadian atau fenomena tertentu, secara otomatis Freud akan melihatnya dari kaca mata psikoanalisa. Ia akan menganalisanya dari dialog antara id, ego dan superego. Jika memandang perkembangan orang, maka ia mengajinya dari perkembangan psikoseksual.

Misalnya, jika suatu saat ada anak yang terlambat datang masuk kelas, maka Freud bisa jadi memandangnya sebagai bentuk konflik dalam diri. Ada defend atau mekanisme pertahanan diri dari anak tersebut yang gagal ditutupi, misalnya rasa tidak suka terhadap mata pelajaran atau gurunya.

Beda lagi jika kita mencomot tokoh yang bernama Skinner. Beliau ini adalah salah satu tokoh psikologi yang beraliran behaviorisme. Segala perilaku adalah pengondisian, artinya bisa dibentuk. Orang melakukan aktivitasnya karena ada stimulus, dan diarahkan atau dibentuk melalui sebuah mekanisme penguatan.

Jika contoh anak yang terlambat tadi digunakan lagi, maka Skinner boleh jadi memandangnya sebagai reaksi atas tidak adanya penguatan. Atau bisa jadi ada mekanisme penghambat yang melemahkan kekuatan stimulusnya untuk menghasilkan respon datang tepat waktu.

Nah, seperti itulah paradigma. Sudah melekat pada diri peneliti. Namun demikian, karena Dila tiak menggunakan kaca mata apapun (kebetulan ia tidak berkacamata hahaha), maka istilah 'menggunakan paradigma' jadi berlaku. Artinya, Dila mungkin saja menggonta-ganti paradigma yang ia gunakan dalam penelitiannya. Karena itulah, aku memintanya untuk kembali belajar metodologi agar mengetahui berbagai variasi paradigma. Untuk selanjutnya, ia bisa memilih paradigma yang sesuai dengan objek penelitian yang akan dikaji.


2. Penyesuaian paradigma penelitian

Ternyata Dila menghadapi persoalan baru. Pertama, ia merasa kesulitan mendapatkan buku untuk mempelajari paradigma. Kesulitan ini sudah tidak relevan lagi, karena dari pembahasan kemarin, hampir semua penulis dan banyak buku membahas tentang paradigma penelitian ini.

Persoalan kedua yang dihadapi Dila adalah keinginannya untuk bertahan dengan paradigma fenomenologi intepretif. Karena itulah Dila menggeser kajiannya menjadi latar belakang dibuatnya strategi untuk mengatasi resistensi karyawan atas sebuah kebijakan. Dulunya langsung membahas tentang strateginya, sekarang beralih kepada latar belakang dibuatnya strategi tersebut.

Kalau yang dijadikan bahan kajian adalah later belakang dibuatnya strategi, mungkin masih sesuai, karena objeknya adalah keadaan atau situasi yang melatarbelakangi adanya strategi. Hanya saja, Dila belum mengarahkan pada makna objek yang menjadi latar belakang dibuatnya strategi oleh manajer, yaitu maknda dari resistensi karyawan. Karena itulah usulan yang muncul dari diskusi kami, menggeser kajiannya kepada makna resistensi di mata manajer.

Paradigma intepretif, dalam hal ini paradigma fenomenologi, memang memfokuskan kajiannya pada makna personal. Subjek berhak memaknai realitasnya senidiri.

Perlu diingat bahwa kakek nenek moyang fenomenologi berasal dari eksistensialisme. Faham ini meyakini kebenaran science subjective. Apa itu? Buat kaum eksistensialis, ilmu yang sesungguhnya adalah pemaknaan subjektif dari setiap individu. Tidak ada yang bisa menyangkal sebuah makna personal. Karena itulah itu dianggap sebagai kebenaran.


3. Memilih paradigma secara mudah dari sudut pandang kebutuhan penelitian

Persoalan ketiga yang dihadapi oleh Dila adalah bagaimana memilih paradigma. Sebenarnya persoalan yang ketiga ini dengan sendirinya sudah bisa teratasi, karena Dila memilih bertahan dengan paradigma fenomenologi, dan lebih suka mengubah objek kajian penelitiannya. Hanya saja, sebelum keputusan itu final, diskusi tentang pemilihan paradigma ini terus berlanjut.

Ketika Dila memilih melakukan penelitian dengan tipe kualitatif, maka dengan sendirinya ia tidak menggunakan paradigma positivistik, karena memang Dila menginginkan penelitian kualitatif murni yang induktif. Masih ingat dengan pola berpikir induktif? Iya, memulai dari data untuk melahirkan konsep-konsep atau teori.

Lebih mudahnya, kita berawal dari penelitian Dila saja. Kita mulai dari kebutuhan penelitiannya, yaitu mengaji tentang makna.

Berbicara tentang makna, kita bisa membagi makna menjadi makna personal, makna dialogis dan makna kultural. Makna personal itu adalah penghayatan individu atas realita. Jadi maknanya muncul dari diri individu. Beda lagi dengan makna dialogis. Makna yang kedua ini diwujudkan dengan melakukan dialog. Konvensi antara dua orang atau lebih dapat menghasilkan makna bersama. Jika makna ini ditetapkan dan berlaku umum, baik untuk orang yang ikut bersepakat maupun buat orang yang tidak terlibat, maka lahirlah makna kultural.

Jika penelitian Dila mengaji makna personal dari manajer, maka menggunakan paradigma yang mengaji makna personal. Fenomenologi sangat cocok dengan ini. Jika yang menjadi fokus adalah makna dialogis, maka makna konstruksi sosial sangat sesuai. Paradigma yang pas, misalnya sosial konstruktivis atau constructionism. Yang terakhir, jika maknanya jadi milik bersama, berlaku buat siapapun, maka jadinya adalah makna kultural. Paradigma etnometodologi adalah yang paling sesuai. Jika kajiannya budaya secara umum, maka bisa menggunakan etnografi. Namun jika khusus mengaji unsur budaya spesifik, misalnya bahasa, maka etnolinguistik bisa jadi pilihan.

Nah, pada kasusnya Dila, ia pernah menjadikan strategi sebagai objek penelitiannya, yang kemudian bergeser kepada later belakang dibuatnya strategi sebagai akibat dari pemaknaan seorang manajer atas resistensi.

Jika Dila fokus kepada strategi, maka strategi yang tercipta tersebut akan kurang sesuai jika dilihat dari makna personal. Tidak ada kebijakan strategis yang final hanya dari makna personal. Maka, bisa jadi paradigma yang dipilih Dila sudah bergeser ke makna dialogis atau makna kultural. Tapi jika yang dikaji fokus kepada pemaknaan seorang manajer atas pengalamannya yang melatarbelakangi diambilnya kebijakan strategis, maka masih memungkinkan menggunakan paradigma fenomenologi.

Sumber Gambar: bus.sysu.edu.cn



Demikian diskusiku tentang penelitian kualitatif bersama seorang mahasiswa skripsi. Apakah tulisan ini bermanfaat buat penelitianmu?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar