Kamis, 14 Januari 2016

Kegilaan Peradaban: Konsep yang Sakit tentang Sehat

Perubahan struktur turut mempengaruhi kultur. Dua yang semakin cepat dengan berbagai perangkat dan fasilitas teknologi, telah mengubah makna sehat. Di peradaban yang semakin gila ini, berkembanglah konsep yang sakit tentang makna sehat.

Beberapa waktu yang lalu, aku ngobrol asik di sebuah mall di Kota Malang bersama seorang teman. Obrolan yang asik itu membawa kita kepada refleksi ulang tentang peran psikologi yang sudah mulai begeser.

Kamu tahukan peran psikologi bagi manusia? Para ilmuwan psikologi atau psikolog pasti mudah menjawabnya dengan nada-nada yang seirama, misalnya menyembuhkan sakit, menyehatkan manusia, atau memberdayakan masyarakat. Diantara banyak peran atau fungsi tersebut, kata kunci yang paling sering muncul adalah 'sehat' atau 'menyehatkan'.

Lalu apakah dengan menjalankan peran sebagai ilmuwan psikologi atau psikolog, kita semakin menyehatkan manusia? Dulu sering aku tuliskan dan aku katakan kepada mahasiswa bahwa sebenarnya orang yang paling sehat adalah orang yang menerima sakitnya apa adanya. Ya, itu jika kita membahas tentang konsep sehat (dan sakit). Mungkin begitulah salah satu cara kita memaknai sehat pada diri kita.

Namun makna sehat itu sudah bergeser sedemikian hebatnya. Pengertian sehat sudah keluar dari makna yang paling personal menjadi makna sosial atau kultural. Konsep sehat tidak murni didasarkan pada kondisi pribadi atau perasaan personal, tetapi bergeser kepada konsep sehat yang disepakati secara kultural.

Di dunia yang serba cepat dan tuntutan berkreasi yang tinggi, orang mulai mengutamakan produktivitas. Apalagi di era MEA 2016. Siapa yang ingin survive, harus produktif. Produktivitas juga menjadi bagian dari proses develop (berkembang).

Penyakit peradaban telah melahirkan konsep baru tentang sehat (foto: nationalgeographic.co.id)


Lalu apa hubungannya produktivitas dengan sehat dan sakit? Ya, definisi sehat sudah bergeser kepada produktivitas. Jadi, orang yang sehat adalah orang yang produktif. Inilah yang menjadi penyakit peradaban, sebuah konsep sehat yang sakit. Jadi kalau ada orang yang stress karena tekanan pekerjaan, atau depresi karena minimnya penghasilan, kemudian orang tersebut membutuhkan bantuan psikolog untuk menjadi sehat, maka ia sudah masuk dalam makna sehat yang baru, yaitu produktivitas. Jadi ketika orang sedang sakit, stress, depresi dan lain-lain, maka ia bisa mandeg dalam bekerja. Artinya, ia sudah tidak produktif lagi. Nah, pada saat itulah ia dikatakan sakit. Karena itu, tujuan ia disehatkan (lebih tepatnya disembuhkan) adalah agar ia dapat bekerja kembali, bisa produktif lagi. Ini berarti mendekatkan kembali orang tersebut kepada sumber stressnya. Bukankah ketika ia stress lagi, maka psikolog juga akan dapat klien lagi? Pada saat itu juga psikolog dikatakan produktif. Dengan kata lain, psikolog tersebut menjadi sehat.

Tanpa disadari, kita yang seharusnya berperan untuk menyehatkan, telah menjadi bagian dari penyakit peradaban. Apakah Kamu menyadarinya? Apakah Kamu juga mengambil bagian dalam penyakit peradaban?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar